Senin, 22 Desember 2008

Raja Lampung Hadiri Ulang Tahun Naik Takhta PB XIII

SOLO--MIOL: Kehadiran Pangeran Dalem Edwarsyah Pernong, Raja dari Paksi Pak Sekala Brak, Lampung Barat, menjadi salah satu keistimewaan dalam ulang tahun naik tahta atau tingalan jumenengan dalem ke-2, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakoe Boewono XIII. Acara ini digelar di Sasana Andrawina, Keraton Surakarta Hadiningrat, Solo, Minggu (20/8).

Pasalnya, kehadiran Kombes Polisi Edwarsyah Pernong yang juga Kapolres Metro Jakarta Barat, ini tidak sendirian. Ia datang bersama para pejabat, hulubalang, dan prajurit serta panji-panji kebesaran kerajaannya.

Kehadiran Raja Paksi Buay Pernong ke XIII ke Keraton Surakarta ini pun lengkap dengan prosesi arak-arakan. Sang Raja berjalan dengan kawalan ketat para prajuritnya yang memainkan pencak silat bersenjatakan pedang.

Sesampainya di depan Kamandungan, rombongan Kerajaan Lampung Barat ini disambut salah satu kerabat Keraton, Kanjeng Pangeran Satryo Hadinogoro yang kemudian mengawalnya menuju sasana Andrawina, tempat prosesi tingalan jumenengan dilangsungkan.

Prosesi tingalan jumengan dalem Pakoe Boewono XIII yang dinobatkan pada 10 September 2004 itu tidak banyak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Suasana sakral terasa kental saat prosesi dimulai.

Prosesi ini diawali dengan keluarnya ratusan prajurit Keraton di halaman depan Andrawina. Setelah beberapa saat, pada waktu yang telah ditentukan, Pakoe Boewono XIII dengan pakaian kebesarannya dan diiringi sejumlah kerabat Keraton keluar (miyos) dari sasana Sewoko menuju kursi kebesarannya, dampar kencono, yang telah disiapkan di sebelah barat sasana Andrawina.

Setelah beberapa saat, prosesi dilanjutkan dengan acara pisowanan agung, saat para kerabat dan para abdi dalem keraton diperkenankan menghaturkan sembah kepada Pakoe Boewono XIII.

Usai menghaturkan sembah, para abdi dalem ini dengan tertib menempatkan diri di sekeliling sasana Andrawina untuk bersama-sama menyaksikan pagelaran tari bedhaya ketawang.

Tarian sakral yang dibawakan sembilan penari yang masih perawan ini merupakan ciptaan raja kerajaan Mataram pertama, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Tarian ini merupakan manifestasi pertemuan antara raja-raja dari Dinasti Mataram dengan Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul.

Ada satu kepercayaan menarik yang berkembang di kalangan keraton. Mereka meyakini tarian bedhaya ketawang itu sebenarnya dibawakan oleh sepuluh orang penari. Tapi penari kesepuluh yang diyakini sebagai Nyi Roro Kidul itu hanya dapat terlihat oleh mereka yang memiliki keistimewaan, berupa indera keenam.

Tarian bedhaya ketawang ini sekaligus merupakan puncak dari prosesi tingalan jumenengan dalem. Usai menyaksikan tarian, Pakoe Boewono XIII bersama kerabat keraton lainnya kembali masuk ke sasana sewoko untuk makan bersama.

Selain prosesi dalam keraton, seperti tahun-tahun sebelumnya tingalan jumenengan dalem ini ditutup dengan sebuah acara kirab kereta pusaka.

Menurut kerabat keraton, Kanjeng Pangeran Satryo Hadinogoro, ada lima belas kereta yang akan diturunkan dalam kirab ini. Sepuluh di antaranya kereta pusaka milik Keraton. Yaitu Kyai Raja Peni, Kyai Manik Kumala, Kyai Kyai Garuda Kencono, Kyai Retno Sewoko, Kyai Morosebo, Kyai Retno Puspoko, Kyai Retno Pambagyo, Kyai Rara Kumenyar, Kyai Retno Juwito, dan Kyai Siswanda.

Pakoe Boewono akan menaiki Kyai Garuda Kencono lengkap dengan iringan 15 panyutra dan 18 orang prajurit keraton. (Sumber Media Indonesia)

Jumat, 19 Desember 2008

Silat Kumango Akan Didemontrasikan di Liwa Lampung Barat


Perguruan Silat Kumango (Persikum) Batusangkar dibawah pimpinan Lazwardi Malin Marajo (Ar Malin) beserta sebanyak 16 orang pemuda dari kerajaan Paksi Buay Pernong, Liwa -Lampung Barat yang selama ini belajar silat ke Persikum Pagaruyung bertolak ke Liwa untuk menghadiri dan menampilkan pertunjukan pada acara peresmian Patung Kerajaan Liwa.

Daulat Raja Paksi di Liwa, Lampung Barat, Kombes Pol, Drs. Edward Pernong, SH yang sekarang menjabat Kapolres Jakarta Selatan mengundang pimpinan beserta sejumlah anggota perguruan Silat Kumango untuk menghadiri acara tersebut sekaligus mengisi acara peertunjukan yang sengaja untuk penampilan silat Kumango yang merupakan rujukan ilmu beladiri yang ada di Liwa.

Ditampilkannya silat Kumango oleh panitia tersebut, karena diantara kerajaan Paksi Buay Pernong di Liwa dengan silat Kumango punya pertalian sejarah yang selama ini sempat terputus, dan kini oleh Edward Pernong dirintis kembali dengan meningkatkan hubungan silaturahmi antara kedua pihak serta mengutus sebanyak 16 orang Punggawa kerajaan untuk belajar silat selama 3 bulan yang dibiayai lansung Daulat Raja Paksi.

Sebagaimana dikemukakan pimpinan Persikum, Lazwardi didampingi pimpinan Sanggar Limpapeh, Lesmandri sebelum berangkat ke Liwa, Kamis ini (13/07) mengatakan antara kerajaan Paksi dengan Persikum punya hubungan sejarah yang tidak bisa terlupakan, dimana Raja Paksi (kakek dari Edward, Daulat Raja Paksi sekarang) belajar dan mendalami silat Kumango kepada pendiri Silat Kumango, Shek Abdurahman Alkhalidi sampai Raja Liwa ini berhasil mendapatkan kepandaian Shekh yang ketingggian ilmunya mencapai setengah dewa atau sebahagian dari ilmu yang ada pada Shekh.

Karena pada masa kecilnya, Edwar Pernong pernah menerima pesan dari kakeknya yang memimpin kerajaan pada masa itu, antara lain meminta Edwar kelak melanjutkan hubungan dengan Persikum di kerajaan Pagaruyung, maka oleh Daulau Raja Paksi yang kini menjabat Kapolres Jakarta Selatan ini tahap pertama mengutus 16 orang Punggawa kerajaan belajar silat Kumango

Menurut Lesmandrai dengan terajutnya kembali buhul yang sempat terputus ini dan dengan kehadiran Persikum di Liwa ini, akan lebih terjalin hubungan silaturahmi antara kedua pihak, dan disisi lain keberangkatan Persikum ke Liwa Lampung Barat juga membawa misi memperkenalkan potensi Kabupaten Tanah Datar, Luhak Nan Tuo keluar daerah sebagai bentuk sumbangsih anak nagari.ungkapnya.

Sang Bumi Rua Jurai

'SANG BUMI RUWA JURAI' Itulah kalimat indah yang tertulis pada lambang resmi pemerintah daerah propinsi lampung, tapi kalimat tersebut tidak hanya sekedar indah namun mempunyai makna tersendiri bagi adat istiadat daerah tersebut.'Sang Bumi Ruwa Jurai' berarti satu tanah terdiri dua turunan atau terbagi dalam dua lingkungan masyarakat adat yaitu :1. Masyarakat adat Sai Batin2. Masyarakat adat Pepadun.Masyarakat adat Sai Batin pada umumnya berdomisili didaerah pesisir lampung, dimulai dari daerah Sekala Beghak, Ranau, Krui, Kota Agung (Semaka) dan Kalianda. Sedangkan masyarakat adat Pepadun berdomisili didaerah bagian tengah dari lampung seperti Abung, Manggala dan daerah Pubian.Perbedaan yang mendasar dari dua adat istiadat tersebut adalah mengenai status dan gelar seorang Raja adat.Bagi adat Sai Batin dalam setiap generasi (masa/periode) kepemimpinan hanya mengenal satu orang raja adat yang bergelar Sultan, hal tersebut sesuai dengan istilahnya yaitu Sai Batin artinya Satu Batin (satu orang junjungan). Seorang Sai Batin adalah seorang Sultan berdasarkan garis lurus sejak jaman kerajaan (keratuan) yang pernah ada di lampung sejak dahulu kala dan inilah yang disebut Sai Batin Paksi, sebagai keturunan langsung dari Keratuan Paksi Pak Sekala Beghak sejak jaman dahulu sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa adat tertinggi dilingkungan paksi-nya.

Minggu, 14 Desember 2008

Gelar Dalam Kepaksian Pernong


Sumber lisan di Kapaksian Pernong dan juga keterangan tertulis serba ringkas mengenai gelar kebangsawanan dan gelar dalam fungsi adat telah diuraikan Sai Batin, pucuk pimpinan adat Paksi Pak Sekala Beghak.

Dalam adat Paksi Pak Buay Pernong, ada beberapa tingkatan gelar atau adok. Seluruh adok adalah mutlak anugerah dari Sai Batin. Anugerah diberikan atas dasar keturunan (nasab-silsilah) maupun karena jasa besarnya kepada Sai Batin atau Kepaksian Pernong.
Dalam adat Paksi Buay Pernong, gelar adat dalam berbagai tingkatan tidak “diperjualbelikan” melalui cara dan dengan alasan apapun. Kalaupun ada gelar yang dianugerahkan, merupakan mutlak hak prerogatif Sai Batin.
Meski demikian, sebenarnya Sai Batin mengambil keputusan bukan tanpa dasar dan menutup diri dari aspirasi bawah. Para Kepala Jukku berkewajiban menyusun akkat tindih (tingkatan) status anak buah yang akan diberi gelar. Akkat tindih itu kemudian dimusyawarahkan dengan Raja-raja Kappung Batin. Pengusulan pakkal ni adok ini harus menimbang gelar dari ayahnya (lulus kawai); cakak adok (naik tingkatan gelar) dan adanya pemekaran Jukkuan.
Hasil musyawarah diserahkan kepada Sai Batin melalui Pemapah Dalom /Pemapah Paksi untuk dimintakan persetujuan.
Apapun keputusan Sai Batin itulah yang harus diterima.
Dalam adat Kepaksian Pernong, gelar terdiri dari dua atau lebih suku kata yang berpedoman pada Pakkal Ni Adok dan pada Uccuk Ni Adok. Pakkal (pangkal) dari gelar merupakan kata inti dari gelar yang menunjukkan status atau tingkat kedudukan seseorang dalam Tatanan Adat Kepaksian Pernong.
Contohnya, gelar-gelar : Raja, Batin, Radin dan seterusnya. Sedangkan Uccuk (ujung) dari gelar menunjukkan identitas keturunan atau Jukkuan yang bersangkutan. Misalnya : Raja Batin II, artinya berasal dari Jukkuan Lamban Bandung.
Gelar Sultan hanya untuk Sai Batin. Melekat pula pada gelar Sultan adalah Pangeran dan Dalom. Permaisuri Sai Batin, bergelar Ratu. Dalam stratifikasi gelar yang berkait dengan jabatan (struktur) adat dalam masyarakat berturut-turut sebagai berikut :


SULTAN

RAJA

BATIN

RADIN

MINAK

KEMAS

MAS

Gelar tersebut berkaitan dengan status dan kedudukan yang bersangkutan dalam strata kehidupan masyarakat adat Paksi Buay Pernong. Gelar dapat memperlihatkan kedudukannya dalam masyarakat adat dimana ia tinggal. Seorang bergelar Raja, dia mempunyai anak buah yang tertata dalam suatu kelompok masyarakat adat yang disebut Jukku. Raja membawahi beberapa Batin, Radin, Minak, Kimas, Mas, dan seterusnya. Pada jalur perempuan, gelar itu setelah Ratu, adalah Batin-Radin-Minak-Mas-Itton.
Hanya, ada sedikit perbedaan gelar Raja dan gelar-gelar lain yang diberikan kepada keluarga Sai Batin yang tertata dalam Papateh Lamban Gedung, semacam “Sekretariat Negara”. Mereka ini memperoleh gelar karena adanya hubungan darah dengan Sai Batin. Karenanya, tidak membawahi langsung gelar-gelar dibawahnya. Sultan dalam menjalankan fungsinya dibantu oleh Pemapah Dalom, semacam perdana menteri, yang biasanya diangkat dari salah seorang paman atau adik Sultan. Para Pemapah Dalom/Pemapah Paksi bergelar Raja.
Gelar Raja oleh Sai Batin juga dianugerahkan kepada, Kepala Jukku; Putera Kedua Sai Batin; dan Menantu Tertua Laki-laki dari Sai Batin. Kepada menantu perempuan tertua memperoleh gelar Tidak Tudau atau Matudau (anak puteri mengikuti suaminya).
Masyarakat adat terkelompok dalam struktur sebagai berikut:
Jukku dipimpin Kepala Jukku bergelar Raja Sumbai dipimpin Kepala Sumbai bergelar Batin Kebu dipimpin Kepala Kebu bergelar Radin Lamban (Keluarga) dipimpin Kepala Keluarga atau Ghagah.(Sumber Paksi Buay Pernong Paksi Pak Sekala Brak)

Skala Brak, Asal Muasal Orang Lampung


Sekala Beghak, artinya tetesan yang mulia. Boleh jadi, kawasan ini dianggap sebagai kawasan tempat lahir dan hidup orang-orang mulia keturunan orang mulia pula. Sekala Beghak adalah kawasan di lereng Gunung Pesagi (2.262 m dpl), gunung tertinggi di Lampung. Kalau membaca peta daerah Lampung sekarang, Sekala Beghak masuk Kabupaten Lampung Barat. Pusat kerajaannya di sekitar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit. Di Lereng Gunung Pesagi itulah diyakini sebagai pusat Kerajaan Sekala Beghak yang menjadi pula asal usul suku bangsa Lampung.

Pengelana Tiongkok, I Tsing, pernah menyinggahi tempat ini, dan ia menyebut daerah ini sebagai “To Lang Pohwang”. Kata To Lang Pohwang berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak ampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi. (Sumber Paksi Buay Pernong Paksi Pak Sekala Brak)

Selasa, 11 November 2008

Tumbai khang Meli Iwa Tanno Ibukota


Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung
Way Setiwang, Way Robok, dan Way Sindalapai yang mengaliri wilayahnya merupakan sumber kekayaan daerah ini. Ditambah pula, penduduk yang masih jarang membuat masyarakat daerah ini menjadi makmur dan sejahtera.
Di daerah ini dulunya terdapat bendungan-bendungan tempat ikan (bidok, bahasa Lampungnya), sehingga terkenallah daerah ini sebagai penghasil ikan. Hampir setiap orang yang datang dari dan ke tempat itu jika ditanya sewaktu bertemu di jalan: "Mau ke mana?" atau "Dari mana?" selalu menjawab: "Jak/aga mit meli iwa" (Dari/hendak membeli ikan).
Lama-kelamaan jawaban itu berubah menjdi "mit meli iwa". Kemudian karena diucapkan secara cepat kedengarannya seperti "mit liwa". Dan, akhirnya daerah ini mereka namakan Liwa.
Kalau kita kontekskan dengan sekarang, Liwa memang menjadi tempat pertemuan ikan laut dari Krui di tepi Samudra Hindia, ikan tawar dari Danau Ranau, dan ikan tawar lain dari sungai dan sawah.(sumber bpkp)

Jumat, 10 Oktober 2008

Lombok Wisata Kotor dan Kurang Terawat.

Ketika saya pulang kampung halaman di Batu Brak Lampung Barat, suatu hari saya menyempatkan diri mengunjungi kawasan wisata Lombok yang terletak di Kecamatan Sukau. Sebelum berangkat, sudah terbayang dibenak saya bahwa tempat yang akan saya tuju terdapat pemandangan alam yang indah dan sejuk dan bersih. Namun setelah saya tiba di tempat yang menjadi kebanggaan masyarakat Lampung barat tersebut, betapa terkejutnya saya melihat pemandangan yang ada bukan tempat yang sejuk dengan pemandangan indah dan sejuk. Ketika masuk pintu gerbang saya di membayar tiket yang jumlahnya setara dengan masuk ke Taman Mini.Setelah masuk gerbang saya mencoba berkeliling sejenak di sekitar Lombok Wisata disana terdapat Hotel dan lapangan hijau yang asri. Setelah itu saya turun kebawah dan betapa terkejutnya saya menyaksikan pemandangan yang ada dibawaha. Pasalnya sangat berbeda dengan tempat sebelumnya seperti adanya bangunan-bangunan tempat istirahat yang tidak terawat ini terlihat dari rumput-rumput liar yang tumbuh disekelilingnya selain itu di bibir pantai banyak terdapat sampah yang berserakan.
Sebagai putra daerah saya menyaran kepada pihak-pihak yang berkompeten khususnya Pemerintah Daerah Lampung Barat agar pengelolaan tempat wisata lombak ini benar-benar dikelola secara optimal sehingga tidak terkesan setengah-setengah. Saya yakin apabila Lombok Wisata ini dikelola dengan baik tidak menutup kemungkinan Lombok Wisata akan menjadi tempat wisata andalan di Lampung dan pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian penduduk di sekitarnya. Sebagai rujukan tidak salahnya Pemda Lambar mencontoh Pemkab Oku yang telah berhasil membangun Pusri dan sekitarnya. dan saya ingin nantinya di Lombok terdapat kendaraan berplat BG (Kode Kendaraan Sumsel) bukan sebaliknya saat ini di OKU kendaraan ada di sana hampir 90% berplat BE (Lampung). Sukses buat Lambar (koni)

Lombok

Rabu, 06 Agustus 2008

Tempat Bersejarah di Lampung Barat


 LAMPUNG Barat (Lambar) menyimpan begitu banyak peninggalan nenek moyang dari zaman prasejarah, kerajaan, hingga masa perjuangan kemerdekaan. Beberapa peninggalan seperti patung, pahatan bercorak Megalitikum yang tersebar di sekitar Pura Wiwitan, Sumberjaya, Kenali, Batubrak, Liwa, dan Sukau. Peninggalan ini adalah artefak yang menceritakan muasal orang Lampung.
Kawasan ini merupakan wilayah pengaruh Kerajaan Skalabrak yang bertahta di lereng Gunung Pesagi. Saat itu--ada yang menyebut, Kerajaan Skalabrak berdiri 250--1600 Masehi, hingga masuknya agama Buddha--masyarakat yang menetap di kawasan Lambar adalah suku Tumi.
Masyarakat ini menyembah pohon besar bernama melasa kepapang. Pohon ini berbatang pohon nangka, dahannya dari jenis kayu sebukau.
Dari cerita turun-temurun, getah dahan melasa kepapang bisa menimbulkan penyakit kulit. Obatnya hanya getah batang nangka itu.
Dari Skalabrak ini--cerita ini diterima warga turun-temurun--masyarakat Lampung tersiar ke segenap penjuru mengikuti aliran Sungai Komering, Semangka, Sekampung, Seputih, Tulangbawang, Way Umpu, Way Rarem, dan Way Besai. Ahli purbakala Dr. Fn. Fune dari Jerman--dan sejumlah peneliti lain--menyatakan Skalabrak adalah daerah asal orang Lampung.
Islam masuk Skalabrak lewat empat umpu yang bernama Belunguh (Buay Belunguh di Tanjungmenang, Kenali), Umpu Pernong (Buay Pernong di Hanibung), Umpu Bejalan Di Way (Buay Bejalan di Puncak Dalam), dan Umpu Nyerupa (Buay Nyerupa di Tapak Siring).
Pohon melasa kepapang kemudian ditebang Paksi Pak Skalabrak (keempat umpu itu). Pohon itu lalu dibuat pepadun, yakni perangkat adat yang menyerupai singgasana. Dari sinilah tradisi adat cakak pepadun bermula, seperti berkembang di Abung, Waykanan, Sungkai, dan Pubian.

 
Batu Kepapang di Kenali
SATU peninggalan prasejarah adalah Batu Kepapang. Situs ini terletak di Pekon Kenali, Kecamatan Belalau. Meskipun tidak ada plang nama, tidak sulit menuju petilasan ini. Asalkan bertanya pada warga sekitar, kita dengan mudah menjangkau lokasi Batu Kepapang.
Situs ini berada di belakang SDN 1 Kenali. Pagar semen mengelilingi areal situs yang ditumbuhi tanaman cokelat, pisang, dan berbagai tanaman kebun. Situs ini terletak di tanah penyimbang (sai batin dalam bahasa setempat).
Satu-satunya penjelas kalau situs ini peninggalan purbakala hanyalah sebuah marmer bertuliskan "Situs Batu Kepapang" yang ditandatangani Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. Marmer ini ditempel di pagar tembok yang baru dibuat. Menurut warga, situs ini nyaris terbengkalai. Baru dipagar setelah diberi bantuan Gubernur Rp5 juta.
Di sekeliling Batu Kepapang, tertutup tanaman, terlihat sembilan batu besar. "Masih ada sembilan batu lagi yang belum digali. Batu-batu itu tempat duduk para petinggi Kerajaan Skalabrak," ujar Haidar Hadi H.S., tokoh masyarakat Kenali.
Ada dua riwayat Batu Kepapang. Pertama, cerita yang menyatakan kalau situs ini peninggalan masyarakat Tumi--yang merupakan nenek moyang orang Lampung yang tinggal di Kerajaan Skalabrak. "Batu Kepapang itu tempat menyembelih orang-orang terpilih, terutama gadis-gadis cantik. Ketika itu masyarakat belum mengenal agama, jadi mereka masih animisme," kata Haidar.
Gadis itu yang tercantik di Skalabrak. "Daging gadis korban itu dimakan masyarakat. Harapannya, seluruh masyarakat Skalabrak memiliki sifat dan kecantikan yang sama," kata Haidar.
Kisah kedua, Batu Kepapang digunakan pada zaman kemerdekaan untuk mengadili atau memotong orang-orang. Namun, kisah ini tidak begitu dikenal masyarakat. Masih diragukan kebenarannya.

Beguk Sakti
Tidak jauh dari Batu Kepapang, terdapat tempat keramat yang oleh masyarakat disebut Beguk Sakti--bahasa setempat menyebutnya "begukh". Tempat keramat ini berada di rumah kayu kecil.
Di bangunan bercat putih ini terdapat ranjang besi, tanpa papan atau kasur. Di bawahnya terdapat batu-batu menhir tersusun. Di sinilah makam si Beguk Sakti.
Warga yakin Beguk Sakti adalah panglima perang di Krui. Ia memiliki nama asli M. Syarifudin.
Kisahnya, sang panglima bosan perang. Dia meminta kepalanya dipenggal dengan sembilu yang terbuat dari bambu tanpa ruas. Lalu, kepala sang panglima dibawa pulang dan dimakamkan di Kenali. Permakaman ini oleh masyarakat disebut keramat Beguk Sakti.
Tubuh Beguk Sakti dimakamkan di Krui; yang dikenal sebagai Keramat Slalau.

Situs Purajaya
Wisata arkeologis bisa dilanjutkan ke Desa Purajaya di Kecamatan Sumberjaya. Dari Liwa, desa ini ditempuh sekitar 2 jam perjalanan.
Di Purajaya terdapat situs Megalitikum sangat luas, mencapai 2 hektare. Di sini terdapat batu-batu menhir dan dolmen peninggalan prasejarah abad ke-6.
Benda-benda ini tersusun tegak lurus. Informasi yang diyakini warga, batu-batu ini sebagai tempat pemujaan pada dewa juga sebagai tempat persembahan korban berupa gadis cantik.

Sisa Buay Pernong
Sebelum sampai Liwa, tepatnya di Way Pernong, berdiri rumah adat yang indah. Rumah ini terletak di sisi sebelan kanan jalan menuju Liwa. Rumah adat ini dimiliki keturunan Buay Pernong.
Sebagian rumah adat ini masih asli, beberapa bagian yang direnovasi karena rusak saat gempa 1993 lalu. Di sini terdapat meriam besar buatan zaman Belanda yang berasal dari Krui. Selain itu, banyak benda kuno seperti lemari dan kursi.
Di belakang rumah adat ini terdapat makam Raja Selalau ketiga dan penerusnya. Di atas batu-batu yang menutupi makam, terdapat berbagai tanda berbentuk seperti binatang atau lambang tertentu.
Selain makam Raja Selalau, di dekat areal makam juga terdapat semacam benteng tanah berbentuk parit sedalam 1,5--3 meter. Benteng ini mengingatkan pada benteng parit yang terdapat di situs Pugungraharjo. Sayangnya, benteng parit ini belum dipugar instansi terkait atau diteliti lebih lanjut.

Batu Putri
Di Kenali juga terdapat situs yang disebut Batu Sepadu atau Batu Putri. Menuju situs ini harus melewati jalanan kecil beraspal, dengan turunan dan tanjakan yang lumayan curam.
Sebuah rumah panggung kecil dari kayu berdiri di perkebunan. Di bawahnya terdapat sebuah batu seperti perempuan berambut panjang sedang duduk. Pagar tembok mengelilingi batu itu.
Di situs ini ada jamur yang menempel di batu. Warga yakin, jika ditempelkan di kulit, jamur ini langsung jadi panu; yang obatnya ada di salah satu batang pohon di lokasi ini.
Menurut Mawardi, tokoh pemuda Kenali, Batu Sepadu ini dulunya seorang putri. Dengan janji akan memberi imbalan, sang putri meminta seseorang memindahkan air dari Way Besohan di Krui ke Kenali. Ternyata, setelah air dipindahkan, putri itu ingkar. Lalu, dia disumpah jadi batu.
Dalam rumah kayu itu terdapat kursi, meja, ranjang besi lengkap dengan kasur-bantal, dan dua kayu yang sangat tua. Kayu hitam ini terdapat pahatan motif-motif.  (Lampung Post)


 

Aksara Lampung

Aksara Lampung


 
Selain pembagian berdasarkan masyarakat beradat, suku Lampung dapat pula di bagi berdasarkan logat bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa Lampung Belalau yang berlogat “A” dan bahasa Lampung berlogat “O”. Pembagian atas logat ini dikelompokkan menjadi logat “Api” dan logat “Nyou”. Masyarakat berbahasa Lampung Belalau (Logat “A”) terdiri dari: bahasa Jelma Daya/Sungkai, bahasa Pemanggilan Peminggir, bahasa Melinting Peminggir dan bahasa Pubian. Sedangkan masyarakat berbahasa Lampung Abung (Logat “O”) terdiri dari: bahasa Abung dan bahasa Tulang Bawang.
Selain bahasa dan budayanya yang memiliki kekhasan, etnik Lampung mempunyai aksara tersendiri yang dikenal dengan nama Had Lappung. Aksara itu berupa bahasa Lampung yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan.
1.Aksara
bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni; aksara Pallawa dan huruf Arab.Adapun Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka, dan tanda baca.

Selasa, 05 Agustus 2008

Mulang Buka Nonton Sakura

Suatu hal yang tidak dapat dilupakan bagi masyarakat Lampung Barat ketika Idul Fitri (Buka Balak) tiba yaitu nonton Sakura. Pesta Sekura adalah suatu pesta rakyat yang diadakan setiap awal bulan Syawal oleh masyarakat Lampung Barat khususnya daerah di kecamatan Belalau, Baru brak dan Balik Bukit.. Sakura ditampilkan sebagai tarian topeng pada Pesta Sakura yang berlangsung selama satu minggu dimulai dari tanggal 1 Sawal dan seterusnya. Pesta ini merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan dalam rangkaian Idul Fitri untuk mengungkapkan rasa syukur, sukacita dan perenungan terhadap sikap dan tingkah laku. Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari , dua jenis. yaitu pertama disebut sekura betik yang artinya sekura bersih. Sekura ini sering disebut kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor atau sekura jahat.
Sesuai dengan namanya, sekura kecah mengenakan kostum yang bersih dan rapi. Sekura kecah khusus diperankan oleh menghanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. Mereka membawa senjata pusaka-kini simbolis saja , sebagai symbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat. Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik.
Sekura kamak berarti sekura kotor atau sekura jahat dikarenakan mereka mengenakan pakaian dan topeng kotor. Busana yang dikenakan tidak hanya pakaian sehari-hari yang digunakan dalam menggarap kebun, tetapi dapat juga dari segala jenis tumbuhan yang diikatkan di tubuh. Tingkahnya mengundang tawa penonton. Sekura kamak tidak terbatas meghanai , tetapi bisa juga dibawakan oleh pria yang sudah beristri. Mereka berfungsi sebagai penghibur dalam sekuraan. Kadang mereka mengganggu pengunjung yang menonton sekuraan. Sekuraan ini berkeliling kampung untuk kemudian singgah ke rumah-rumah penduduk. Masyarakat yang dikunjungi wajib menyediakan makanan dan minuman yang diperuntukkan sekura yang datang ke rumahnya. Dalam pesta sekuraan ini, kadang ditampilkan atraksi pencak silat (silek), nyambai ( menyanyikan bait-bait pantun yang diiringi dengan tetabuhan terbangan (rebana) satu. Pantun ini biasanya ditujukan pada muli (gadis). (Berbagai Sumber).





Berdirinya Kepaksian Sekali Brak (Lampung Barat)

Diriwayatkan didalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah:
Maulana Umpu Bejalan Di Way
Maulana Umpu Belunguh.
Maulana Umpu Nyerupa.
Maulana Umpu Pernong.
Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat.
Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan oleh Perserikatan Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan menggunakan nama PAKSI PAK SEKALA BRAK. Inilah cikal bakal Kepaksian Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kepaksian Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu:
Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa.
Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong.
Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena letaknya yang berdekatan.
Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau didud (Bathara Semar)

5 Sifat Masyarakat Lampung


Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
(1) piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
(2) juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
(3) nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu),
(4) nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan
(5) sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Provinsi Lampung.
Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):
Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi. (Sumber Batara Semar)

Asal-Usul Lampung

Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir serta Cikoneng di pantai barat Banten.
Asal-usul ulun Lampung (orang Lampung atau suku Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri, walaupun nama Lampung itu dipakai mungkin sekali baru dipakai lebih kemudian daripada mereka memasuki daerah Lampung.
Catatan musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.
Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.
Legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekala Brak. Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, "Lappung" (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas). Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.
Penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung). Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekala Brak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.
Teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati. Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:
Inder Gajah

Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung
Pak Lang

Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian
Sikin

Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya
Belunguh

Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir
Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang

Tentang Lampung Barat


Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu kabupaten di provinsi Lampung, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Liwa. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tanggal 16 Agustus 1991 yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten ini dominan dengan perbukitan dengan pantai di sepanjang pesisir barat Lampung.

Posisi strategis
Pemilihan Liwa sebagai ibu kota Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat pernyataan ini.Pertama, tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif.
Kedua, Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah: Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri. Kita mulai menjalankan kendaraan dari arah selatan, yaitu dari Bandar Lampung melewati Gunungsugih (Lampung Tengah), Kotabumi dan Bukitkemuning (Lampung Utara) memasuki Liwa. Dari Liwa, jika belok kanan ke arah utara, seseorang akan menuju Kotabatu, sebuah kota kecil di tepi Danau Ranau untuk selanjutnya dapat melanjutkan perjalanan ke Baturaja dan Palembang. Sedangkan jika belok kiri ke arah barat, seseorang akan menuju Krui, kota pelabuhan Lampung Barat di pantai barat Lampung (Samudra Hindia). Dari sini, menelusuri pantai barat ke arah utara, seseorang bisa melanjutkan perjalanan memasuki provinsi Bengkulu. Tapi kalau ingin memilih menelusuri pantai barat ke arah selatan, seseorang akan tembus ke Kotaagung.

Asal-usul nama Liwa
Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung Way Setiwang, Way Robok, dan Way Sindalapai yang mengaliri wilayahnya merupakan sumber kekayaan daerah ini. Ditambah pula, penduduk yang masih jarang membuat masyarakat daerah ini menjadi makmur dan sejahtera. Di daerah ini dulunya terdapat bendungan-bendungan tempat ikan (bidok, bahasa Lampungnya), sehingga terkenallah daerah ini sebagai penghasil ikan. Hampir setiap orang yang datang dari dan ke tempat itu jika ditanya sewaktu bertemu di jalan: "Mau ke mana?" atau "Dari mana?" selalu menjawab: "Jak/aga mit meli iwa" (Dari/hendak membeli ikan). Lama-kelamaan jawaban itu berubah menjdi "mit meli iwa". Kemudian karena diucapkan secara cepat kedengarannya seperti "mit liwa". Dan, akhirnya daerah ini mereka namakan Liwa. Kalau kita kontekskan dengan sekarang, Liwa memang menjadi tempat pertemuan ikan laut dari Krui di tepi Samudra Hindia, ikan tawar dari Danau Ranau, dan ikan tawar lain dari sungai dan sawah.

Potensi budaya
Di samping memiliki potensi alamiah seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, pariwisata, dan pertambangan, Liwa juga menyimpan sejarah budaya. Beberapa kebiasaan (tradisi-budaya) yang masih kita temui di Liwa, antara lain upacara-upacara adat seperti nayuh (pesta pernikahan), nyambai (acara bujang-gadis dalam rangka resepsi pernikahan), bediom (menempati rumah baru), sunatan, sekura (pesta topeng rakyat), tradisi sastra lisan (seperti segata, wayak, hahiwang, dll), buhimpun (bermusyawarah), butetah (upacara pemberian adok atau gelar adat), dan berbagai upacara adat lainnya.

Potensi wisata
Kota Liwa tidak mempunyai tempat wisata yang cukup menarik, kecuali air terjun Kubuperahu, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang termasuk sebagian kecil wilayahnya, suanana sejuk karena alam yang masih hijau, dan adat-istiadat setempat (seni-budaya lokal).
Namun Kabupaten Lampung Barat mempunyai belasan tempat wisata seperti Danau Ranau, wisata budaya pekon Kenali, (Belalau), dan pantai sepanjar Pesisir Barat Samudera Indonesia yang dapat diandalkan terutama pantai dan tempat bersejarah. Salah satunya Situs Prasejarah Batu Jaguar yang terletak di Pekon Purawiwitan, Sumberjaya. Di sini, terdapat sebuah batu menhir yang dipercaya masyarakat dapat memberikan tanda-tanda bila akan terjadi bencana alam. Hal ini terbukti saat gempa Liwa 1994. (Sumber BPKP)