DI dalam buku The History of Sumatera (1779), William Marsdn sebagai penulis memaparkan temuan terkait dengan masyarakat di Lampung. Adalah kerajaan bernama Sekala Brak yang terbentuk sekitar abad ke-3 dengan Raja Buay Tumi yang ia relasikan dengan peradaban awal daerah ini. Juga soal tersusunnya aksara dan angka tersendiri yang sudah kuno, disebut Had Lampung. Perkembangannya berawal dari daratan Belalau di selatan Danau Ranau yang berdekatan dengan Gunung Persagi, atau wilayah administratif Lampung Barat, Sumatra Selatan, yang sekarang. Dengan mengikuti aliran sungai, penduduk kerajaan ini kemudian mengalami perpindahan dari waktu ke waktu. Menuju Way Sekampung, Way Kanan, Way Semaka, Way Besai, Way Umpu, Way Rarem, Way Seputih, dan Way Tulang Bawang dalam wilayah Lampung, Palembang, serta Pantai Banten. Masih adakah sisa-sisa kerajaan yang diceritakan Marsdn, si sekretaris presiden dan konsul Benteng Marlborough Bengkulu? Jawabannya ada di Sultan Sekala Brak Ke-23 Edward Syah Pernong yang kini menjadi sosok legitimasi untuk masuk ke kehidupan kerajaan tua itu di masa modern. Pria bergelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi tersebut meluruskan bahwa Sekala Brak hingga kini masih mengisi segala syarat adanya sebuah kerajaan. Ada rakyat, wilayah, adat istiadat, pusaka, dan masih mengantongi pengakuan rakyatnya atas kerajaan. "Sekala Brak memiliki jutaan warga di Lampung Barat dan sekitarnya. Juga 175 suku di bawah kerajaan adat," kata Pernong yang pernah menjabat Kapolres Jakarta Barat, Selasa (25/11) di Jakarta. Bahkan ia mengingat saat naik takhta 19 Mei 1989 silam ada jutaan warga Lampung turut hadir dalam upacara adat. Pernong mengatakan segalanya sudah berubah modern sekarang. Posisi raja pun tak sekadar kedudukan yang minta dilebih-lebihkan ataupun disembah. "Justru raja menjaga dan melestarikan budaya, mengidentifikasi kembali komunitasnya, meningkatkan solidaritas, dan mengeksplorasi artefak adat guna kepentingan wisata," ujar Perdana Menteri Sekala Brak Pangeran Ike Edwin, sosok yang sehari-hari lebih dikenal sebagai Kapolres Jakarta Pusat.
Peradaban Sekala Brak memang menyisakan banyak peninggalan kuno seperti batu tulis besar di Bunuk Tuar atau haur kuning (liwa), batu kepapang atau batu bercangkah di Tanjung Menang Kenali, dan situs batu bekhak di Pekon Purawiwitan Sumberjaya.
Istana Kerajaan Sekala Brak sudah hancur oleh serangan Belanda antara 1810 dan 1820. Kini yang tersisa adalah Gedung Dalom, pengganti istana yang dibangun pada 1830.
"Dulu arealnya ratusan hektare dan dipenuhi rumah-rumah suku," urai Pernong. Tetapi lahan Gedung Dalom yang sekarang tinggal 3.000 meter persegi, dikelilingi rumah kepala suku yang tersisa dan rakyatnya. Daratan Belalau kini menjadi tempat pertapaan yang ramai dikunjungi masyarakat. Struktur internal kerajaan masih cukup rapi sebab raja terus dipilih berdasarkan tradisi kesaibatinan atau autokratis berdasarkan keturunan tertua. Hulubalang yang dipakai untuk menjaga kalangan kerajaan zaman dulu kini pun tetap dilestarikan, walau jumlahnya jauh berkurang ketimbang masa lalu. "Dalam sejarah, harus ada 41 hulubalang. Sekarang ini, kami hanya memiliki 18 hulubalang," ujar Pernong. Hulubalang ini memiliki keahlian bela diri dan dibekali silat cimande di Batu Sangkar selama dua tahun. (Sumber Media Indonesia)
Jumat, 13 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
skala brak tak kan pernah hilang, "sekam tetap haga jadi raja hingga akhir zaman lamon nyawa khiklamon jelma" Janji/amanat sultan buay nyerupa. sumber(penuturan "sultan piekulun jayadiningrat") tabik...
Kerajaan Sekala Begha memang ada, tetapi bukan "paksi pak sekala brak"... Tanah sama, cerita berbeda.. Sama juga dengan Kesultanan Palembang, tentu tidak sama dengan Kerajaan Sriwijaya..
Jangan membanggakan kebesaran Sekala Begha jika nenek moyang pemilik kerajaan tersebut kita lupakan siapa dan dari mana asalnya..
Posting Komentar